Jumat, 26 Juni 2015

“Pers yang Bebas dan Tanggung Jawab” dan “ Kemerdekaan Pers”

Oleh:Rendi Eko Budi S/ Ilmu Komunikasi UMY

Pringsewu(Jum'at, 26/06/15)Jurnalispejuangpena.com-Edmund Burke menjelasakan di abad kedelapan belas media massa lahir sebagai pilar keempat yang berfungsi untuk mengawasi trias politik Eksekutif, legislative dan yudikatif. ( Burke dalam McNair, An Introduction Political Communication).
Burke juga mengatakan pers memiliki peran penting untuk kesehatan demokrasi liberal. Pesr tak hanya menginformasikan tentang hiruk pikuk politik, terlepas dari itu media juga sebagai sarana independen untuk melindungi kaum yang termarjinalkan dari urusan kapitalisan.
Pers sangat penting sebagai sarana komunikasi politik untuk berbagai kalangan komunikator politik, yang tak lain tujuanya adalah adanya mutual understanding antara sistem politik dan komunikasi politik.
Pers sejatinya dilekatkan dengan kebebasan, akan tetapi bebas sesuai konstitusi yang ada. Beberapa fungsi pers sendiri yaitu menyiarkan informasi, mendidik, menghibur dan mempengaruhi.
Menengok kembali rezim Soeharto, tumbuhlah kapitalisme krooni, sebut saja bisnis media massa, saat itu media massa terjadi konglomerasi dinasti kepemilikan, contoh saja seperti Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) Rajawali Citra Televisi (RCTI) yang dimiliki kerabat keluarga cendana di awal decade 1990-an, dekade yang sempat diramalkan Indonesia akan menjadi macan Asia Baru.
 Pers dimasa orde lama dilandasi oleh konstitusi yang tak boleh ditawar lagi yang juga menjadi kerikil sandungan bagi pers masa itu, Undang –Undan No.21 tahun 1982 yang menitik beratkan pentingnya surat usaha penerbitan pers (SIUPP), sebuah aturan pelaksanaan yang diatur dengan SK Menpen No. 1 tahun 1984. Dalam Sk ini menteri penerangan berhak mencabut SIUPP yang berarti menutup media pers yang dianggap berbahaya bagi Negara. System pers, sebagai bagian dari system politik makro, dilandasi pada semangat “ pers bebas dan bertanggung jawab”(Junaedi, Pers dan Demokrasi : melihat Sang Bapak).
Atas berdirinya undang – undang itu pers media dan berbagai komunikator politik tak ambil diam, mereka mengkritisi kebijakan Soeharto atas gaya kepemimpinanya yang paternalistic.
Peristiwa malapetaka “MALARI” lima belas januari 1974 banyak diekspos oleh media kala itu, dilansir Fajar Junaedi dalam tulisanya sebanyak 14 media cetak ditutup, perintah soeharto pada Menteri Penerangan.
Kala itu pers statis terkungkung oleh konstitusi Soeharto, yang menjadikan pers tak dinamis dan bebas sesuai fungsi dan arahnya. Tak berhenti dimasa orde lama, beberapa saat setelah itu peristiwa reformasi tahun 1998, terbuka secercah harapan pers dibawah naungan rezim orde baru.

Habibie menghapus konstitusi akan media yang dibuat pada rezim orde lama dengan menerbitkan Undang-Undang No.40 tahun 1999 dari “ pers yang bebas dan bertanggung jawab” menjadi “Kemerdekaan pers”.
Bj. Habibie memimpin bangsa Indoneia di era transisi, dilansir MetroTV dalam kurun waktu 517 hari, Habibie menerbitkan 57 Undang Undang dan 1 perpu yang salah satunya adalah UU No. 40 tahun 1999
Pasca orde lama, pers mulai menampakan eksistensinya dikalangan masyarakat sesuai fungsi, tak lepas dari itu pers media juga berperan sebagai survailence Of Environment, sebagai social control dan mengawas kebijakan pemerintah yang ada.
Dewasa ini, pers telah berkembang mengikuti permintaan pasar, masalah yang ada yakni pers semakin kehilangan jati dirinya sebagai lembaga yang independen, konglomerasi media serta budaya poluler telah mengenyampingkan kontitusi “kemerdekaan pers”.
Idialisme pada pers berarti juga mendukung pemerintah dan menyebarkan kegiatan-kegiatan pemerintah yang positif agar diketahui, dan memotivasikan masyarakat ( Effendy, Ilmu Komunikasi, 149).


Sumber : ( Burke dalam McNair, An Introduction Political Communication).
(Junaedi, Pers dan Demokrasi : melihat Sang Bapak)
( Effendy, Ilmu Komunikasi, 149).

0 komentar:

Posting Komentar